ILMU NEGARA
A. Pengertian
Ilmu Negara
Ilmu Negara adalah ilmu pengetahuan
yang menyelidiki asas-asas pokok dan pengertian pokok tentang Negara dan Hukum
Tata Negara.[1]
Ilmu Negara ialah ilmu yang
menyelidiki atau membicarakan Negara, ini telah nyata ditunjukkan sendiri oleh
namanya.[2]
Ilmu Negara mempelajari Negara secara
umum, mengenai asal-usulnya, wujudnya, lenyapnya, perkembangannya, dan
jenis-jenisnya.[3]
Istilah ‘Ilmu Negara’ diambil dari
istilah bahasa Belanda Staatsleer
yang diambilnya dari istilah bahasa Jerman, Staatslehre.
Di dalam bahasa Inggris disebut Theory of
State atau The General Theory of
State atau Political Theory,
sedangkan dalam bahasa Prancis dinamakan Theorie
d’etat.
Timbulnya istilah Ilmu Negara atau Staatsleer sebagai istilah teknis,
adalah sebagai akibat penyelidikan dari seorang sarjana Jerman bernama George
Jellinek. Ia terkenal disebut Bapak Ilmu Negara. Ilmu Negara adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki asas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok
tentang Negara dan Hukum Tata Negara.[4]
Menurut Prof. Drs. C.S.T. Kansil,
S.H., Ilmu negara adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki atau mempelajari
sendi-sendi pokok dan pengertian pokok tentang Negara.
Menurut Prof. Dr. Syactuan Basah,
SHSC, Ilmu Negara adalah ilmu yang memenuhi syarat keilmuan dan ilmu
pengetahuan modern dengan mempelajari sendi-sendi pokok dan pengertian pokok
dari kaidah Negara.
Menurut Max Boli Sobon, S.H., Ilmu Negara
adalah ilmu yang mempelajari bahan-bahan mengenai kenegaraan yang tidak hanya
ditunjukan kepada Negara-negara tertentu yang konkrit melainkan lebih ditunjukan
kepada bentuk dan hakikat Negara pada umumnya diseluruh dunia.
Menurut Moh. Koesnardi, Ilmu Negara
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki asas-asas pokok dan pengertian pokok tentang
Negara dan Hukum Tata Negara.
Menurut George Jellinek, Ilmu Negara
adalah ilmu yang mempelajari pengertian-pengertian pokok dan sendi pokok Negara
pada umumnya.
Menurut Van der Pot, Ilmu Negara adalah
peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan yang diperlukan pada
wewenangnya masing-masing, hubungannya satu dengan yang lain dan hubungannya
dengan individu-individu.[5]
Menurut Dipolo GS, Ilmu Negara adalah ilmu
yang menyelidiki dan mempelajari hal ikhwal dan seluk beluk Negara.
Menurut Ramdlan Naming, Ilmu Negara adalah
ilmu yang mempelajari, mengkaji dan menyelidiki segala sesuatu yang menyangkut
Negara.
Menurut Prof. Mr. R. Kranenburg, Ilmu Negara
adalah ilmu yang mempelajari Negara pada umumnya, yaitu mengenai lahir dan
timbulnya, sifat dan hakikat, bentuk dan tujuan serta lenyapnya atau
tenggelamnya Negara.
Menurut C. F. Strong, ilmu negara adalah
ilmu yang mempelajari struktur pemerintahan yang merupakan ‘political community’ yaitu suatu
pelajaran tentang masyarakat yang dipandang dari sudut tertentu.[6]
B. Ilmu Negara
dan Hubungan dengan Ilmu Lain
Ilmu yang
membicarakan Negara itu bukanlah hanya Ilmu Negara saja, oleh karena itu, di
samping Ilmu Negara itu masih ada ilmu-ilmu lainnya yang juga membicarakan Negara.
[7]
Ilmu lain
yang mempunyai hubungan erat dengan Ilmu Negara adalah Hukum Tata Negara dan
Hukum Tata Pemerintahan, disebabkan karena ilmu-ilmu tersebut mempunyai obyek
yang sama, yaitu Negara.[8]
Ilmu Negara
dan Hukum Tata Negara menyelidiki kerangka yuridis daripada negara, sedangkan
Ilmu Politik menyelidiki bagiannya yang ada di sekitar kerangka itu. Keduanya
berhubungan erat karena mempunyai objek penyelidikan yang sama, yaitu Negara.[9]
Ilmu Negara
yang merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki pengertian-pengertian pokok
dan sendi-sendi pokok Negara dapat memberikan dasar-dasar teoritis yang
bersifat umum untuk Hukum Tata Negara. Oleh karena itu, agar dapat mengerti
dengan sebaik-baiknya dan sedalam-dalamnya sistem hukum ketatanegaraan sesuatu
Negara tertentu, sudah sewajarnyalah kita harus terlebih dahulu memiliki
pengetahuan segala hal ikhwalnya secara umum tentang Negara yang didapat dalam
Ilmu Negara.
Dengan
demikian, maka tampak bahwa Ilmu Negara merupakan suatu pelajaran pengantar dan
ilmu dasar pokok bagi pelajaran Hukum Tata Negara, karenanya Hukum Tata Negara
tidak dapat dipelajari secara ilmiah dan teratur sebelum terlebih dahulu
dipelajari pengetahuan tentang pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi
pokok daripada negara umumnya.[10]
1. Hubungan secara
Umum
Ilmu tidak dapat dipisah-pisahkan
dalam kotak-kota yang terpaku mati. Oleh karena itu, tidak mungkin ilmu
tersebut berdiri sendiri terpisah satu sama lainnya tanpa adanya pengaruh dan
hubungan. Dalam hal ini, Ilmu Negara sebagai salah satu cabang dari ilmu
pengetahuan sosial sebagaimana halnya dengan ilmu hukum, politik, ekonomi,
kebudayaan, psikologi, dan lain sebagainya, merupakan cabang dari ilmu
pengetahuan sosial yang khusus. Semua ilmu-ilmu sosial khusus ini secara
bersama-sama akan membentuk suatu ilmu sosial umum yang akan tersalur ke dalam
ilmu induknya. Oleh karena itu, Ilmu Negara sebagai salah satu cabang ilmu
pengetahuan sosial umum, harus bekerja sama dengan cabang-cabang ilmu
pengetahuan sosial lainnya, karena dapat memberi dan menerima pengaruhnya dan
bantuan jasanya satu sama lain yang saling memerlukan, sehingga dapat saling
mengisi dan saling melengkapi, sehingga terwujud hubungan komplementer.
Juga terdapat hubungan secara
interdependen diantara cabang-cabang ilmu pengetahuan sosial itu dengan yang
lainnya, dikarenakan metode dan teknik yang sama. Metode dan teknik ilmu
pengetahuan sosial pada umumnya dipergunakan pula oleh hampir semua
cabang-cabang ilmu pengetahuan sosial pada khususnya, seperti Ilmu Negara, ilmu
hukum, ilmu politik, dan lain sebagainya.
Obyek penyelidikan ilmu-ilmu
sosial, diselidiki pula selaku obyek oleh cabang-cabang ilmu pengetahuan khusus
lainnya. Sehingga tidak terdapat monopoli obyek oleh ilmu sosial khusus itu
sendiri. Tentu tekanan, intensitas, luas dan sempitnya lapangan penyelidikan
serta peranan personalianya, dapat dibedakan cabang-cabang ilmu pengetahuan
sosial itu satu dengan yang lainnya. Namun demikian, tidaklah berarti ilmu-ilmu
tersebut selalu terpisah-pisah menjadi bagian yang terputus-putus dalam
kotak-kotak yang terpaku mati, melainkan selalu terdapat hubungan yang timbal
balik dan saling tergantung serta saling mempergunakan hasil satu sama lain.
2. Hubungan
secara Khusus
A. Hubungan
Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
Kalau diperhatikan pendapat George
Jellinek dalam bukunya “ALgemeine
Staatslehre”, Ilmu Negara sebagai theoritische
staatswissenschaft atau staatslehre
merupakan hasil penyelidikan dari staten kunde. Bahan-bahan tersebut dibahas,
dianalisis, dan diperbandingkan satu sama lain, sehingga terdapat
persamaan-persamaan diantara berbagai sifat dari organisasi-organisasi Negara
itu.
Dari fakta yang bermacam-macam itu
dicari sifat-sifat dan unsur-unsur pokoknya yang bersifat umum seakan-akan
intisari unsur-unsur itu merupakan “pembagi persekutuan terbesar” dalam ilmu
hitung atau grootste gemene deler-nya
dari keadaan yang berbeda-beda itu. Dan jika pekerjaan tersebut dijalankan atau
diterapkan di dalam praktek untuk mencapai tujuan tertentu, tugas itu
diserahkan kepada angewandte
staatswissenschaft atau ilmu politik. Jadi Ilmu Negara sebagai ilmu
pengetahuan sosial yang bersifat teoretis, segala hasil penyelidikannya dipraktekkan
oleh ilmu politik sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat praktis. Dengan
demikian, jelaslah, bahwa ilmu politik itu tidaklah merupakan ilmu pengetahuan
sosial yang berdiri sendiri.
Ilmu Negara lebih menitikberatkan
kepada sifat-sifat teoretis, sehingga kurang dinamis. Hal ini berarti bahwa
lebih banyak memerhatikan unsur-unsur statis dari negara yang mempunyai tugas
utama untuk melengkapi dengan memberikan pengertian-pengertian pokok yang
jelas. Yang mendasari konsepsi-konsepsi ilmu politik lebih menitikberatkan
kepada faktor-faktor yang konkrit, terutama sekali berpusat kepada
gejala-gejala kekuasaan, baik yang mengenai organisasi Negara maupun yang
memengaruhi pelaksanaan tugas-tugas Negara. Oleh karena itu, lebih dinamis.
Sehubung dengan hal tersebut, berkatalah H.R. Hoetink dalam kata pengantar buku
J.Barents ”De wetenschap der Politiek
meteen terrain verkenning”, bahwa ilmu politik merupakan sociologie van de staat (sosiologi
negara) atau bet vless er om been
(atau daging yang meliputi sekitarnya), atau dalam bahasanya J.Barents adalah bet vless om bet geraantevan de staat (daging
yang meliputi sekitar kerangka bangunan negara).
Maka dalam hubungan ini jelaslah
ada sifat-sifat komplementer. Karena itu, Ilmu Negara merupakan salah satu bardcore (teras inti) dari ilmu politik.
B. Hubungan
Ilmu Negara dengan Ilmu Hukum Tata Negara dan Ilmu Hukum Administrasi negara
Ilmu Hukum Tata Negara dan Ilmu
Hukum Administrasi Negara mempunyai hubungan yang erat dengan Ilmu Negara
karena ilmu-ilmu tersebut mempunyai obyek yang sama dengan Ilmu Negara, yaitu
Negara. Perbedaannya Ilmu Hukum Tata Negara dan Ilmu Hukum Administrasi Negara
memandang Negara dari sifatnya atau pengertiannya yang konkrit. Obyek dari Ilmu
Hukum Tata Negara dan Ilmu Hukum Administrasi Negara adalah Negara yang sudah
terikat pada tempat, keadaan, dan waktu. Jadi telah mempunyai ajektif tertentu,
misalnya Negara Republik Indonesia. Kemudian Negara dalam pengertiannya yang
konkrit itu diselidiki lebih lanjut mengenai susunannya, alat-alat perlengkapannya,
wewenang, dan kewajibawan alat-alat perlengkapannya. Kedua cabang ilmu
pengetahuaan tersebut adalah hukum positif, dan di dalam sistematika George
Jellinek, kedua cabang ilmu tersebut termasuk dalam kategori recbtswissenscbaft.
Antara Ilmu Hukum Tata Negara dan
Ilmu Hukum Administrasi Negara terdapat hubungan yang sangat erat pula. Bahkan
di negeri Belanda, dua lapangan hukum tersebut pernah disebut bersama-sama,
yaitu staats en administratief recbt,
bahkan selalu diajarkan oleh seorang guru besar. Meskipun demikian, tidaklah
berarti bahwa kedua cabang ilmu tersebut adalah sama.
Oppenheimer menyebutkan bahwa
peraturan-peraturan hukum tata negara adalah peraturan mengenai de staat in rust (Negara yang sedang
beristirahat, atau Negara dalam keadaan tak bergerak). Sebaliknya, mengenai
peraturan-peraturan hukum administrasi negara adalah peraturan mengenai de staat in beweging atau negara yang
sedang bergerak. Berdasarkan rumusan-rumusan tersebut, maka Ilmu Hukum Tata
Negara dan Ilmu Hukum Administrasi Negara sudah jelas lapangan penyelidikannya
hanya terdapat Negara-negara tertentu (hukum positif), sedangkan Ilmu Negara
tidak mengenai Negara-negara tertentu, melainkan Negara-negara di dunia ini pada
umumnya. Dengan demikian, Ilmu Hukum Tata Negara dan Ilmu Hukum Administrasi
Negara di satu pihak dengan Ilmu Negara di pihak lain mempunyai hubungan saling
memengaruhi dan saling menjelaskan. Oleh karena itu, dalam buku-buku tentang
Ilmu Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, hal dari Ilmu Negara
dapat dipakai sebagai batu loncatan untuk sampai kepada kedua cabang hukum
tersebut. Sebaliknya, buku-buku tentang Ilmu Negara, hal-hal mengenai Ilmu
Hukum Tata Negara dan Ilmu Hukum Administrasi Negara dapat dipakai sebagai
contoh dari apa yang diuraikan di dalam Ilmu Negara.
Kranenburg dalam bukunya “ALgemene Staatsleer” menguraikan bahwa
bagi orang yang mempelajari hukum tata negara positif Negeri Belanda, pengetahuan
teori Negara umum atau Ilmu Negara sangat perlu. Akan tetapi, dengan mengingat
tingkat ilmu pengetahuan sekarang ini, serta melihat organisasi perguruan
tinggi hukum yang sekarang ada untuk sebagian besar ditentukan oleh
kebutuhan-kebutuhan praktik yang segera, maka pengetahuan teoritis untuk
kebanyakan ahli hukum hanya terbatas kepada apa yang mereka pelajari sebagai
Pengantar Hukum Tata Negara positif. Akan tetapi, hal yang bagi Ilmu Hukum Tata
Negara Positif merupakan suatu pengantar, satu syarat mutlak untuk pekerjaan
selanjutnya, bagi Ilmu Negara merupakan tujuan sesungguhnya dari penyelidikan-penyelidikan
yang dilakukannya. Oleh Ilmu Negara masalah-masalah umum yang terdapat pada
negara organisasinya djadikan pusat penyelidikannya serta dicoba untuk dipecahkannya.
Maka dengan demikian, jelaslah
bahwa Ilmu Negara yang merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki
pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi pokok negara dapat memberikan
dasar-dasar teoritis yang bersifat umum untuk Hukum Tata Negara. Oleh karena
itu, agar dapat mengerti dengan sebaik-baiknya dan sedalam-dalamnya sistem
Hukum Ketatanegaraan dan Administrasi Negara sesuatu Negara tertentu, sudah
sewajarnyalah kita harus terlebih dahulu memiliki pengetahuan segala hal
ikhwalnya secara umum tentang Negara yang di dapat dalam Ilmu Negara.
C. Hubungan
Ilmu Negara dengan Ilmu Perbandingan Hukum Tata Negara
Ilmu perbandingan Hukum Tata Negara
ini dikenal dengan sebutan vergelijkende
staatsrecbtswetenscbap atau comparative
government, dan M. Nasroen menamakannya “Ilmu Perbandingan Pemerintahan”,
sebagaimana judul bukunya.
Kranenburg menyatakan bahwa dari
ilmu pengetahuan dan diferensiasi itu, dihasilkan ilmu perbandingan tata
negara. Kemudian yang menjadi obyek penyelidikan ilmu perbandingan Hukum Tata Negara
ialah bahwa: dalam peninjauan lebih lanjut, mungkin ternyata manfaat mengadakan
perbandingan secara metodis dan sistematis terhadap “bentuk” yang
bermacam-macam dari sifat-sifat dan ketentuan-ketentuan umum dari genus “negara”.
Dan sekali lagi, jikalau penyelidikan itu berkembang dapatlah dicapai suatu
tingkatan yang menghendaki agar penyelidikan dan kumpulan-kumpulan masalahnya
dijadikan satu kesatuan yang baru sekali dan sekali lagi timbullah suatu cabang
ilmu pengetahuan, yaitu ilmu perbandingan Hukum Tata Negara.
Jadi jelaslah, bahwa ilmu hukum
perbandingan Tata Negara bertugas menganalisis secara teratur, menetapkan
secara sistematis, sifat-sifat apakah yang melekat padanya, sebab-sebab apa
yang menimbulkannya mengubah dan menghilangkan atau menyebabkan yang satu
memasuki yang lain terhadap bentuk-bentuk Negara itu.
Maka dalam hubungan ini, Kranenburg
menyatakan bahwa dalam menunaikan tugasnya, ilmu perbandingan Hukum Tata Negara
itu haruslah mempergunakan hasil yang diperoleh Ilmu Negara. Karena itu,
perkembangan Ilmu Negara dan Ilmu Hukum merupakan syarat mutlak bagi kesuburan
tubuhnya ilmu perbandingan Hukum Tata Negara untuk menjadi ilmu yang memberi
keterangan dan perbandingan.
Dan untuk itu, ditegaskan pula oleh
M. Nasroen bahwa cara ilmu perbandingan pemerintahan itu mempergunakan
Negara-negara itu sebagai alat, ialah dengan mempergunakan hasil yang diperoleh
ilmu negara umum dalam hal asal mula, sari, dan wujud Negara itu. Selanjutnya
dikatakan pula bahwa dari hasil yang diperoleh dari ketentuan-ketentuan yang diberikan
oleh Ilmu Negara Umum, maka ilmu perbandingan pemerintahan akan memakainya
untuk menentukan derajat dan sifat kepada tugas mengadakan perbandingan.
D. Rangkaian
Hubungan antara Ilmu Negara, Ilmu Politik, Ilmu Hukum Tata Negara,dan Ilmu Perbandingan Hukum Tata
Negara
Sjachran Basah mengemukakan tentang
rangkaian hubungan antara Ilmu Negara, ilmu politik, Ilmu Hukum Tata Negara,
dan ilmu perbandingan Tata Negara. Ilmu Negara yang bersifat teoritis dan umum
itu di dalam penyelidikan terhadap obyeknya lebih menitikberatkan kepada
bangunan-bangunan atau lembaga-lembaga formal yang dibatasi oleh hukum yang
berlaku. Ilmu politik dalam penyelidikannya lebih menitikberatkan kepada gejala
sosio-politik dalam masyarakat sebagai gelanggang pertarungan faktor kekuasaan
yang nyata, dan memperhatikan pula bagaimanakah pelaksanaan serta
kegiatan-kegiatan lembaga tersebut di dalam praktek kenyataannya, maka sifat
ilmu politik itu dinamis.
Faktor teoritis umum dan faktor praktis
dinamis itu saling melangkapi satu sama lainnya, saling membutuhkan dan
melengkapi untuk menjadi dasar bahan-bahan yang akan diterapkan oleh ilmu hukum
Tata Negara dalam obyek penyelidikannya terhadap “satu” Negara tertentu, untuk
menyelidiki “dapatlah dicapai tujuan-tujaun sosial yang dikejar Negara”. Hal
itu senada dengan istilah Hans Kelsen: “politik
als ethik dan “upaya” alat-alat apa sajakah yang dapat dipakai untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut itu”, atau pun menerapkan istilah pengertian
Hans Kelsen politik als technik.
Hal-hal tersebut di atas diperlukan
sebagai bahan-bahan lebih lanjut dalam proses perkembangan dan diferensiasinya
oleh ilmu perbandingan hukum Tata Negara. Tujuannya untuk mengadakan
penyelidikan berdasarkan perbandingan yang akan menberikan pengetahuan lebih
banyak jika ditinjau secara berdampingan terhadap bermacam-macam bentuk negara
dan pemerintahan atau beranekaragam badan-badan perlengkapan kenegaraan,
sebagai bagian tertentu dari suatu sistem yang dipergunakan untuk mencapai
wujud pemerintahan yang sama dengan demikian, dari penggambaran dan keterangan
itu akan dihasilkan oleh suatu nilai, yaitu apakah yang diwujudkan dengan
kesadaran bernegara itu merupakan keadilan, kemakmuran, dan kebahagiaan untuk
sebagian tertentu atau beberapa golongan saja, atau kah untuk seluruh rakyat?
Ilmu Negara, selaku bahan-bahan
yang besrsifat teoritis umum, kiranya akan mendapatkan tempat sebagai
bahan-bahan nyata dalam ilmu hukum Tata Negara dan ilmu perbandingan Hukum Tata
Negara.
Meskipun terdapat hubungan
berangkai yang erat antara Ilmu Negara, ilmu politik, ilmu hukum Tata Negara,
dan ilmu pebandingan Tata Negara, yang secara saling melengkapi satu sama
lainnya, dan digolongkan ke dalam ilmu pengetahuan sosial khusus yang
berobjekkan sama yaitu Negara pada pokok hakikatnya, namun harus diakui dan disadari
ucapan P.J. Bouman, menyatakan tidaklah mungkin untuk menggolong-golongkan ilmu
pengetahuan semata-mata menurut objeknya dalam ilmu-ilmu pengetahuan yang lebih
memegang peranan adalah persoalnnya lebih daripada benda yang menjadi pokoknya.
Sehubungan dengan hal tersebut
jikalau dilihat, ilmu negara itu teoritis karena itu menunjukkan sifat umum,
abstrak, dan bebas nilai (valuafres
atau werd frei), yang dipelajari demi
ilmu itu sendiri dan pengetahuan yang diperolehnya. Sedangkan ilmu politik
bersifat praktis.
Mengenai persoalan ilmu negara dan
ilmu politik, meskipun persoalan pokoknya adalah negara, akan tetapi cara
melakukan pendekatan, peninjauan, dan
pembahasannya berlain-lainan, juga terdapat batas-batas pada lapangan
penyelidikan.
Bahwa ilmu politik akan membatasi
lapangan penyelidikannya, justru memang kepada rangka yang bersifat umum hukum,
atau bahwa ilmu politik tidak akan pula merupakan suatu ilmu tentang Negara-negara.
Hal ini berarti mempertahankan istilah “ilmu politik” dari Herman Heller yang
mengemukakan dengan tepat bahwa batas-batas pokok antara Ilmu Negara dengan
ilmu politik lebih tajam daripada perbedaannya dalan praktek, sehingga yang pertama
untuk sebagian terbesar dituntut oleh para ahli hukum, dan yang penghabisan
oleh ahli sosiologi.
Sedangkan Ilmu Negara dan ilmu
hukum Tata Negara itu mempersoalkan Negara, namun ilmu hukum Tata Negara menyelidiki
satu negara dengan sistem ketatanegaraannya yang tertentu, karena itu merupakan
hal yang spesies, konkrit dan bersifat praktis.
Demikian pula halnya Ilmu Negara terhadap
ilmu perbandingan hukum Tata Negara. Meskipun obyeknya adalah Negara, namun
ilmu perbandingan Hukum Tata Negara itu, berhubungan dengan tidak terdapatnya communis opinion doctrum tentang negara
dalam Ilmu Negara, maka Kranenburg menitikberatkan kepada ilmu perbandingan
Hukum Tata Negara itu, memperbandingkan satu sama lain bermacam-macam bentuk Negara,
dan bukanlah Negara itu sendiri.
Maka jelaslah, meskipun terdapat
hubungan berangkai yang sangat erat antara Ilmu Negara, ilmu politik, ilmu
Hukum Tata Negara, dan ilmu perbandingan Hukum Tata Negara, dan digolongkan
bahwa objek sama, namun terdapat persoalan-persoalan yang dihadapi oleh
ilmu-ilmu tersebut berlain-lain.[11]
Hubungan Ilmu Negara dengan ilmu politik ialah kedua
ilmu itu merupakan pokok dalam berdirinya suatu Negara, Ilmu Negara berfungsi
untuk mempelajari Negara secara menyeluruh sedangkan ilmu politik bertujuan
mempelajari Negara dalam bentuk pemerintahan hingga keduanya sulit untuk
dipisahkan.
Hubungan Ilmu Negara dengan ilmu Hukum Tata Negara (HTN) dalam arti luas ialah
Ilmu Negara dapat memberikan dasar-dasar teoritis untuk HTN yang positif, sebagai
hasil penerapan dari pada Ilmu Negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
yang sudah terikat oleh tempat maupun waktu tertentu.
Hubungan Ilmu Negara dengan ilmu perbandingan HTN
ialah Ilmu Negara yang bersifat teoritis dan umum itu akan merupakan bahan dan
dasar bagi penyelidikan HTN.[12]
Hubungan Hukum Tata Negara dengan
Ilmu Negara, keduanya mempunyai hubungan yang sangat dekat. Ilmu Negara
mempelajari Negara dalam pengertian abstrak artinya tidak terikat waktu dan
tempat. Ilmu Negara juga mempelajari
konsep-konsep dan teori-teori mengenai negara, serta hakikat negara. Sedangkan,
Hukum Tata Negara mempelajari Negara dalam keadaan konkrit artinya negara yang
sudah terikat waktu dan tempat, mempelajari Hukum Positif yang berlaku dalam
suatu Negara, dan mempelajari Negara dari segi struktur.
Dengan demikian hubungan antara
Ilmu Negara dengan Hukum Tata Negara adalah Ilmu Negara merupakan dasar dalam
penyelenggaraan praktek ketatanegaraan yang diatur dalam Hukum Tata Negara
lebih lanjut dengan kata lain Ilmu Negara yang mempelajari konsep, teori
tentang Negara merupakan dasar dalam mempelajari Hukum Tata Negara.[13]
C. Aliran
dalam Ilmu Negara
Yang
dimaksud dengan aliran-aliran dalam Ilmu Negara ialah paham-paham atau
pendapat-pendapat yang ada pada suatu waktu dalam perkembangan sejarah manusia mempunyai
pengaruh besar terhadap ketatanegaraan. Yang menyebabkan timbulnya paham-paham
atau aliran-aliran tersebut ialah pandangan hidup dari masyarakatnya yang
berbeda. Oleh karena itu tidak heran jika aliran-aliran atau paham-paham yang
berhubungan dengan Negara itu banyak dan bermacam-macam coraknya.
Pada zaman
Yunani kuno sudah ada beberapa ahli pikir yang terkenal seperti Socrates,
Plato, dan Aristoteles. Jika Socrates guru dari Plato, maka Aristoteles adalah
muridnya.
Socrates
adalah sarjana yang memperkenalkan istilah “theoria”
sebagai pengetahuan. Menurutnya, tugas Negara adalah mendidik warganegara dalam
keutamaan yaitu memajukan kebahagiaan para warganegara dan membuat jiwa mereka
sebaik mungkin.
Plato telah
menulis dalam bukunya Politieia tentang
bagaimanakah corak Negara yang sebaiknya atau bentuk Negara yang bagaimanakah
sebagai Negara yang ideal. Dalam uraiannya selanjutnya ia menyamakan negara
dengan manusia yang mempunyai tiga kemampuan jiwa yaitu, kehendak, akal
pikiran, dan perasaan.
Sesuai
dengan tiga kemampuan jiwa yang ada pada manusia tersebut, maka di dalam Negara
juga terdapat tiga golongan masyarakat yang mempunyai kemampuannya
masing-masing. Golongan yang pertama disebut golongan yang memerintah, yang
merupakan otaknya di dalam Negara dengan mempergunakan akal pikirannya.
Orang-orang yang mampu memerintah adalah orang yang mempunyai kemampuan, dalam
hal ini sseorang raja yang
berfilisafat tinggi. Golongan kedua adalah golongan kstatria/prajurit dan bertugas menjaga keamanan Negara jika
diserang dari luar atau kalau keadaan di dalam Negara mengalami kekacauan.
Golongan ini dapat disamakan dengan kemauan dari hasrat manusia. Golongan
ketiga adalah golongan rakyat biasa
yang disamakan dengan perasaan manusia. Golongan ini termasuk golongan petani
dan pedagang, yang menghasilkan makanan untuk seluruh penduduk.
Aristoteles
melihat negara lebih riel. Dalam menyiapkan bukunya yang berjudul Politica, ia mengadakan penyelidikan
terlebih dahulu terhadap 158 konstitusi-konstitusi yang berlaku dalam
polis-polis di Yunani. Suatu bukti bahwa ia telah meninggalkan cara bekerja
dari gurunya (Plato) yaitu mempergunakan metode
deduktif dan metode empiris.
Dalam bukunya ia telah membedakan 3 bentuk Negara yang sempurna itu, tugas Negara
adalah menyelenggarakan kepentingan umum, akan tetapi kenyataan yang ada ialah
bentuk kemerosotan karena penyelewengan pihak penguasa.
Tokoh yang
terkenal pada abad pertengahan adalah Thomas van Aquino. Menurut pendapatnya,
dalam menerangkan kedudukan Negara di dalam masyarakat berpangkal pada manusia
sebagai makhluk masyarakat (animal social)
di samping manusia sebagai makhluk politik (animal
politicum). Karena manusia sebagai makluk masyarakat menurut kodratnya,
maka ia tidak bisa hidup dalam suatu pergaulan masyarakat dan senantiasa
mencari masyarakat itu.
Selanjutnya
diterangkan bahwa masyarakat yang memiliki kewibawaan adalah manusia yang
menurut kodratnya dianugerahi oleh Tuhan. Tugas dari Negara adalah menyempurnakan
tertib hukum kodrat.
Paham dari
aliran Calvinis sama halnya dengan golongan Katolik. Aliran ini mendasarkan
ajarannya pada kedaulatan Tuhan dan mengembalikan semua kekuasaan kepada Tuhan,
hanya bedanya aliran ini tidak mengakui gereja sebagai perantara dari Tuhan dan
juga tidak mengakui kekuasaan Paus. Kekuasaan Negara adalah langsung
berdasarkan kekuasaan Tuhan sedangkan menurut ajaran golongan Katolik,
kekuasaan Negara secara tidak langsung didapat dari Tuhan melalui manusia
dengan budinya yang berasal dari Tuhan. Menurut golongan Calvinis, kekuasaan Negara
merupakan pemberian dari Tuhan yang dipegang oleh seorang Raja. Karena itu
dalam Negara-negara yang menganut paham tersebut di atas pengumuman mengenai
undang-undangnya senantiasa didahului kalimat atas karunia Tuhan.
Ajaran
Hegel mengundang ajaran yang mutlak dan disebut sebagai absolut idealisme. Akibat dari ajaran ini timbullah anggapan bahwa
Negara harus didewakan dan menyebabkan adanya paham tentang kedaulatan Negara
yaitu menganggap bahwa semua kekuasaan bersumber pada Negara.
Ajaran
Hegel ini mempengaruhi aliran Deutshe
Publizisten Schule yang juga mendukung paham kedaulatan Negara di Jerman
dengan Karl Marx mempergunakan metode
dialektika.
Ajaran Karl
Marx tentang Ilmu Negara terdapat dalam bukunya yang berjudul Das Komunistische Manifest pada tahun
1848. Menurut Marx, negara akan tetap ada sebagai suatu organisasi akibat dari
suatu penjelmaan dari sejarah dan sebagai hasil dari kehidupan manusia itu
sendiri jika kemajuan-kemajuan dalam proses produksi dan pembagian kerja
terdapat dan selama hak milik memegang peranan yang penting. Sejak itu Negara
disebut sebagai Negara kelas dan juga berlaku bagi Negara proletar jika Negara
borjuis diganti oleh Negara proletar tersebut, setelah kaum proletar merebut
kekuasaan dari kaum kapitalis. Tetapi Negara ini lama-kelamaan akan hilang
dengan ditiadakannya
hak
milik terhadap alat-alat produksi yang sebelumnya ada pada tangan suatu kelas
ekonomi di dalam masyarakat.
Sebelum
Marx, ada beberapa cendekiawan yang beraliran sosialisme antara lain
1. Robert Owen
(1771-1858) di Inggris.
2. Saint Simon
(1760-1825) di Perancis.
3. Fourier
(1772-1837) di Perancis.
Dalam
ajarannya itu mereka tidak memperhitungkan kenyataan-kenyataan yang ada dalam
masyarakat, walaupun cita-cita mereka dalam sosialisme adalah untuk mencapai
keadilan dan memperoleh kebahagiaan hidup antara sesama manusia dengan tiada
penghisapan antara manusia satu sama lainnya.
Robert Owen
menganggap bahwa tenaga produktif manusia pada waktu itu tidak dipergunakan
dengan sebaik-baiknya sehingga tidak menghasilkan kemakmuran, juga segi moral
dari masyarakat itu tidak dibina dengan baik sehingga akibatnya mendatangkan
kemiskinan dan dosa. Dengan cita-cita ke arah perbaikan sosial, ia mencoba
memperbaiki nasib kaum buruh yang dipimpinnya, tetapi akhirnya ia menemui
kegagalan karena krisis ekonomi kapitalis.
Menurut
pendapat Saint Simon, politik ditentukan oleh perekonomian rakyat baik dalam
pengusahaan administrasi maupun produksi, sehingga kekuasaan politik atas
golongan lainnya harus diubah dan akhirnya negara akan hilang.
Menurut
pendapat Fourier, di dalam masyarakat kapitalis terdapat penumpukan modal yang
besar, yang diperoleh dari penderitaan dan kemiskinan dari pihak lain.
Selanjutnya ia berpendapat bahwa dengan makin meningkatnya produksi sebagai
hasil dari ciptaan manusia, maka perlu diadakan penyempurnaan dalam bidang
distribusi agar kebutuhan manusia dapat dipenuhi sehingga keadilan sosial bisa
dicapai.
Dalam waktu
yang kira-kira sama muncul suatu pendapat yang berbeda dengan paham Marx
walaupun pada titik penghabisannya adalah sama. Pendapat ini ialah dari Bakunin
yang hidup pada tahun 1814-1876. Paham Bakunin adalah lebih radikal dari Marx.
Ia menghendaki hilangnya Negara di muka bumi karena Negara merupakan suatu
penyakit (kwaad) bagi masyarakat.
Karena adanya Negara maka timbullah penindasan dan penghisapan antara manusia
dengan manusia. Negara senantiasa merupakan alat bagi siapa saja yang berkuasa
untuk menindas golongan lain yang dikuasainya. Karena itu Negara harus
dilenyapkan dari muka bumi dan sebagai gantinya dibentuk
perserikatan-perserikatan dari individu-individu yang bebas dari segala macam
tekanan.
Bakunin ini
justru mengendaki kekuasaan diatasnya dan disebut anarkhisme. Paham ini tidak banyak penganutnya dan buktinya hingga
sekarang masyarakat masih mengakui perlu adanya Negara. Paham ini juga tidak
mengikuti perkembangan sejarah manusia (onhistorish)
dan dalam Ilmu Negara ia tidak mendapat tempat yang subur.
Dalam Negara
hanya terdapat satu partai sebagai elit dan partai-partai lainnya tidak diakui.
Negara adalah satu dan sama. Karena sifat-sifatnya itu maka negara Facis
mempunyai ciri otoriter, totaliter dan korporatif. Jadi di dalam negara Fascis orang tidak mengenal Negara
hukum yang dapat menjamin kebebasan hukum dan kebebasan politik daripada
warganegaranya.
Negara
Facis merupakan Negara yang paling berkuasa dan menentukan segala segala
kekuatan baik dalam bidang moral maupun dalam bidang intelektual dari
individu-individu. Tugas Negara tidak hanya terbatas bidang tata tertib saja
seperti halnya dalam negara-negara liberal dan juga tidak hanya merupakan alat
untuk membatasi kebebasan individu saja, lebih daripada itu Negara mengatur
seluruh kehidupan manusia dengan disiplin yang keras mempengaruhi kemauan serta
pikirannya. Negara merupakan pusat inspirasi yang mendalam bagi setiap bangsa
Italia dan menanamkan kemungkinan dari tindakannya dalam bidangnya
masing-masing baik ia adalah seorang sarjana, seniman atau pedagang.
Paham
National Sosialisme itu dihidupkan di atas mitos bangsa Jerman yang mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dari semua bangsa-bangsa di dunia baik mengenai
ciri-ciri jasmaniahnya maupun ciri-ciri rohaniahnya.
Paham
liberalisme mula-mula dikemukakan oleh Emmanuel Kant yang menghendaki kebebasan
rakyat dari campur tangan pemerintah dengan mengemukakan unsur-unsur yang
penting dalam negara hukum seperti hak-hak asasi manusia dan pembagian
kekuasaan Negara. Dari ajaran Emmanuel Kant ini ternyata bahwa Negara hukum
tidak dapat dipertahankan lagi tanpa campur tangan pemerintah terhadap
kemakmuran rakyatnya. Pemerintah tidak bisa tinggal diam walaupun campur
tangannya terhadap kepentingan rakyat harus dibatasi dengan undang-undang. Yang
sangat menarik perhatian dengan filsafatnya, paham liberalisme ini membiarkan
setiap individu mengembangkan bakatnya masing-masing, tanpa paksaan, tekanan
dll. Dengan filsafat hidup ini mereka beranggapan bahwa kebahagiaan hidupnya
akan tercapai. Dari sini mulai lahir pengertian free fight competition yang membawakan bermacam-macam ekses di
dalam masyarakat.
Kebahagiaan
yang diidam-idamkan oleh paham liberal tidak tercapai oleh karena kebahagiaan
hidup pada hakikatnya hanya dapat dimiliki oleh segolongan kecil saja di dalam
masyarakat, sedangkan sebagian besar dari masyarakat hidup dalam kesengsaraan.
Hingga sekarang paham ini masih tetap hidup dalam negara-negara Barat dan masih
mendapat tempat yang subur. Di samping aliran ini muncul aliran sosialisme yang
diajarkan oleh Marx. Sebagai aliran yang lebih muda dan lebih modern, kedua
aliran ini masih berkembang terus serta mempunyai pengaruh sama kuatnya di
dalam dunia ini.[14]
Di dalam bukunya F. Oppenheimer, Die Sache, mengatakan bahwa Negara itu
adalah merupakan suatu alat dari golongan yang kuat untuk melaksanakan suatu tertib
masyarakat, yang oleh golongan yang kuat tadi dilaksanakan kepada golongan yang
lemah, dengan maksud untuk menyusun dan membela kekuasaan dari golongan yang
kuat tadi, terhadap orang-orang baik dari dalam maupun luar, terutama dalam
sistem ekonomi. Sedangkan tujuan terakhir dari semuanya adalah penghisapan
ekonomis terhadap golongan yang lemah tadi oleh golongan yang kuat.[15]
Mengenai pendapatnya tentang Negara,
Kranenburg mengatakan bahwa negara itu pada hakekatnya adalah suatu organisasi
kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa. Jadi
menurut Kranenburg terlebih dahulu harus ada sekelompok manusia yang mempunyai
kesadaran untuk mendirikan suatu organisasi, dengan tujuan untuk memelihara
dari kepentingan kelompok tersebut. Maka disini yang primer atau yang utama dan
yang terpenting harus ada adalah kelompok manusianya. Sedangkan Negara itu
adalah sekunder, artinya adanya itu menyusul kemudian dam adanya itu hanya
dapat kalau berdasarkan atas suatu kelompok manusia yang disebut bangsa.
Pendapat Kranenburg tersebut di
atas kiranya didasarkan atau dikuatkan dengan alasan-alasan bahwa pada zaman
modern ini terdapat formasi-formasi kerjasama internasional, atau antara
bangsa-bangsa. Misalnya Perserikatan Bangsa-bangsa. Di sini yang menjadi
anggota nya adalah Negara-negara. Tetapi mengapa disebut Perserikatan
Bangsa-bangsa? Bukan United States, Melainkan United Nations. Hal yang demikian
menurut Kranenburg menunjukkan bahwa menurut pandangan modern, bangsa itu
menjadi dasar dari negara. Jadi bangsalah yang primer, yang harus terlebih
dahulu, baru kemudian menyusul adanya Negara, jadi Negara sifatnya sekunder.[16]
Krenenburg beranggapan pengelompokan
manusia itu didasarkan atas empat macam ukuran yaitu:
a. Pengelompokan
berada pada suatu tempat tertentu dan teratur.
b. Pengelompokan
pada suatu tempat tertentu tetapi tidak teratur.
c. Pengelompokan
tidak berada pada suatu tempat tetapi teratur.
d. Pengelompokan
tidak berada pada suatu dan tidak teratur.[17]
Plato telah menulis dalam bukunya Politieia tentang bagaimanakah corak Negara
yang sebaiknya atau bentuk Negara yang bagaimanakah sebagai Negara yang ideal.
Perlu diterangkan bahwa Ilmu Negara pada zaman Plato merupakan cakupan dari
seluruh kehidupan yang meliputi Polis (negara kota). Oleh karena itu, Ilmu
Negara diajarkan sebagai Civics/Staatsburgerlijke opvoeding yang masih
merupakan Sosial moral dan differensiasi ilmu pengetahuan yang pada waktu itu
belum ada. Segala soal yang berhubungan dengan Negara kota atau polis tidak
menjelaskan apa yang dimaksud dengan Negara, tetapi hanya menggambarkan Negara-negara
dalam bentuk ideal. Dalam uraiannya Plato menyamakan negara dengan manusia yang
mempunyai tiga kemampuan jiwa, yaitu kehendak, akal pikiran, dan perasaan.
Sesuai dengan tiga kemampuan jiwa
yang ada pada manusia tersebut maka di dalam Negara juga terdapat tiga golongan
masyarakat yang mempunyai kemampuannya masing-masing. Golongan yang pertama disebut
golongan yang memerintah, yang merupakan otaknya di dalam negara dengan
mempergunakan akal pikirannya. Orang-orang yang mampu memerintah adalah orang
yang mempunyai kemampuan, dalam hal ini seorang raja yang berfilsafat tinggi.
Golongan kedua adalah golongan ksatria/prajurit dan bertugas menjaga keamanan
negara jika diserang dari luar atau kalau keadaan di dalam negara mengalami
kekacauan. Mereka hidup di dalam asrama-asrama dan menunggu perintah dari
negara untuk tugas tersebut di atas. Golongan ini dapat disamakan dengan
kemauan dari hasrat manusia. Golongan ketiga adalah golongan rakyat biasa yang
disamakan dengan perasaan manusia. Golongan ini termasuk golongan petani dan
pedagang yang menghasilkan makanan untuk seluruh penduduk. Pada saat itu orang
menganggap bahwa golongan ini termasuk golongan yang terendah dalam masyarakat.
Jelas bahwa paham dari Plato hanya
suatu angan-angan saja dan ia sadar bahwa negara semacam itu tidak mungkin
terjadi di dalam kenyataan karena sifat manusia itu sendiri tidak sempurna.
Selanjutnya ia menciptakan suatu bentuk negara yang maksimal dapat dicapai
disebut sebagai Negara hukum. Dalam Negara hukum semua orang tunduk kepada
hukum termasuk juga penguasa atau raja yang kadang-kadang dapat juga bertindak
sewenang-wenang.[18]
Menurut Socrates (±470–399S.M.), Negara
bukanlah semata-mata merupakan suatu keharusan yang bersifat objektif, yang
asal mulanya dari pemikiran manusia. Sedang tugas Negara adalah menciptakan
hukum, yang harus dilakukan oleh para pemimpin atau para penguasa yang dipilih
oleh rakyat. Disinilah timbul pemikiran Demokratis dari Socrates. Ia selalu
menolak dan menentang keras apa yang dianggapnya bertentangan dengan ajarannya
yaitu mentaati undang-undang.
Socrates meninggal, karena dipaksa
(dihukum) meminum racun, sebab dianggap merusak alam pikiran dengan
kepandaiannya yang telah ada waktu itu, dengan tidak meninggalkan apa-apa, baik
tulisan-tulisan yang telah dibukukan ataupun yang masih berupa tulisan tangan.
Namun, Socrates hidup terus dalam alam pemikirannya tentang Negara dan hukum,
terutama berkat muridnya yang termasyur yaitu Plato. Karena Plato dalam
buku-buku karangannya memberikan tempat utama bagi gurunya yaitu Socrates.
Dalam banyak hal buku Plato bersifat tanya jawab, sedang jawaban-jawaban itu
diutarakan menurut ajaran gurunya, Socrates.
Cara bekerja Socrates yaitu dengan
metode dialektis atau “tanya jawab” (dialog), dengan itu Socrates mencoba
mencari pengertian-pengertian tertentu, yaitu mencari dasar-dasar hukum dan
keadilan “yang sejati bersifat objektif dan dapat dijalankan serta diterapkan
kepada setiap manusia”.
Menurut pendapatnya, di setiap hati
kecil manusia terdapat rasa hukum dan keadilan, bergemalah detak-detak kesucian
sebab setiap insan itu merupakan sebagian Nur Tuhan Yang Maha Pemurah, adil dan
penuh kasih sayang; meskipun detak-detak kesucian itu dapat terselubung dan
ditutupi oleh kabut tebal kemilikan dan ketamakan, kejahatan dan aneka ragam
kedholiman, namun tetap ada serta tidak dapat dihilangkan laksana cahaya abadi.
Negara bukanlah suatu organisasi
yang dibuat untuk manusia demi kepentingan pribadinya, melainkan negara itu
suatu susunan yang objektif bersandarkan kepada sifat hakikat manusia karena
itu bertugas untuk menerapkan dan melaksanakan dan hukum-hukum objektif,
termuat “keadilan bagi umum”, dan tidak hanya melayani kebutuhan para penguasa
negara yang saling berganti-ganti orangnya.[19]
Plato dilahirkan pada tahun 429
S.M. di Athena, tergolong ke dalam keluarga bangsawan serta mendapat pendidikan
tinggi.[20]
Plato telah menulis dalam bukunya Politieia
tentang bagaimanakah corak negara yang sebaiknya atau bentuk Negara yang ideal.
Perlu diketahui bahwa Ilmu Negara pada zaman Plato merupakan cakupan dari
kehidupan yang meliputi Polis (negara kota). Karena itu Ilmu Negara diajarkan
sebagai Civics/Staatsburgerlijke opvoeding yang masih merupakan Sosial moral dan
differensiasi ilmu pengetahuan pada waktu itu belum ada. Dalam bukunya segala
soal yang berhubungan dengan negara hanya digambarkan dalam bentuk yang ideal.
Dalam uraian selanjutnya ia menyamakan negara dengan manusia yang mempunyai
tiga kemampuan jiwa, yaitu kehendak, akal pikiran, dan perasaan.
Golongan yang pertama disebut
golongan yang memerintah, yang merupakan otaknya di dalam negara dengan
mempergunakan akal pikirannya. Orang-orang yang mampu memerintah adalah orang
yang mempunyai kemampuan, dalam hal ini seorang raja yang berfilsafat tinggi.
Golongan kedua adalah golongan ksatria/prajurit dan bertugas menjaga keamanan
negara jika diserang dari luar atau dalam keadaan kacau. Golongan ini dapat
disamakan dengan kemauan dari hasrat manusia. Golongan ketiga adalah golongan
rakyat biasa yang disamakan dengan perasaan manusia.
Jelas bahwa paham dari Plato hanya
suatu angan-angan saja dan ia insaf bahwa negara semacam itu tidak mungkin
terjadi dalam kenyataan. Karena sifat manusia itu sendiri tidak sempurna.
Selanjutnya ia menciptakan suatu bentuk negara yang maksimal dan dapat dicapai
yaitu disebut sebagai Negara hukum. Dalam Negara hukum semua orang tunduk
kepada hukum termasuk juga penguasa atau raja yang kadang-kadang dapat juga
bertindak sewenang-wenang.[21]
Dalam bukunya Nomoi (undang-undang) kelihatan dengan jelas bahwa ajaran Plato
tentang Negara dan hukum berbelok arah dari dunia cita-cita kepada dunia
kenyataan, dari idealisme kepada realisme, meskipun realismenya itu tidak mampu
mendesak seluruhnya kepada idealismenya.
Di waktu hidupnya, ajaran-ajaran
Plato itu hanya dianggap sebagai permainan pikiran saja dari kaum penganggur,
tetapi di zaman-zaman kemudian, terlebih setelah meninggalnya Plato,
ajaran-ajaran itu mempunyai nilai dan arti yang maha besar.[22]
D. Negara dan
Unsur-unsurnya
Di dalam Pasal 1 Montevideo (Pan American) Convention on
Rights and Duties of States of 1933, unsur-unsur negara ditentukan sebagai
berikut:
1.
a permanent
population;
2.
a defined
territory;
3.
a
government;
4.
a capacity
to enter into relations with other states.[23]
Yang dimaksud dengan Rakyat yaitu
sekumpulan manusia dari kedua jenis kelamin yang hidup bersama sehingga
merupakan masyarakat, meskipun mereka ini mungkin berasal dari keturunan,
kepercayaan, dan kulit yang berlainan.[24]
Yang dimaksud dengan wilayah
tertentu ialah batas wilayah di mana kekuasaan Negara itu berlaku.[25]
Menurut Lauterpacht, yang dimaksud
dengan pemerintah adalah merupakan syarat yang utama (terpenting) untuk adanya
suatu negara. Jika pemerintah tersebut ternyata secara hukum atau secara
faktanya menjadi Negara boneka atau Negara satelit dari suatu Negara lainnya,
maka Negara tersebut tidak dapat digolongkan sebagai Negara.[26]
Menurut R.C. Hingorani, unsur ini
bukan saja penting, tetapi juga menjadi suatu keharusan (a must) bagi suatu negara untuk memperoleh keanggotaan masyarakat
internasional. Dengan adanya status unsur ini, Negara tersebut independen dalam
mengatur masalah-masalah dalam dan luar negerinya.[27]
Adapun unsur-unsur yang harus
dimiliki oleh suatu masyarakat politik supaya ia dapat dianggap sebagai Negara,
menurut Oppenheim Lauterpacht adalah sebagai berikut:
1. Harus ada
rakyat.
2. Harus ada
daerah.
3. Harus ada
pemerintah yang berdaulat.[28]
Yang dimaksud dengan Rakyat adalah
kumpulan manusia dari kedua jenis kelamin yang hidup bersama merupakan suatu
masyarakat, meskipun mereka ini mungkin berasal dari keturunan yang berlainan,
menganut kepercayaan yang berlainan atau memiliki warna kulit yang berlainan.
Batas daerah suatu Negara dapat
ditentukan dengan jalan mengadakan perjanjian dengan Negara-negara yang
berbatasan, selain ini dapat pula terjadi karena keadaan alamnya, misalnya
gunung-gunung yang tinggi, sungai yang besar. Termasuk daerah suatu negara
ialah daratan, lautan sampai 3 mil (5,5 km) dari pantai laut waktu pasang
surut, dan udara di atas teritorium daratan dan lautan itu.[29]
Yang dimaksud Pemerintah, ialah
seorang atau beberapa orang dan memerintah menurut hukum negerinya.[30]
Di samping unsur-unsur di atas, ada
yang mengemukakan unsur lain lagi, yaitu pengakuan dari Negara lain. Unsur ini
termasuk unsur deklaratif yang hanya bersifat menerangkan tentang adanya Negara.[31]
Yang dimaksud dengan unsur-unsur Negara
adalah bagian-bagian yang menjadikan negara itu ada. Dengan lengkapnya
unsur-unsur itu maka lengkaplah negara bagaikan sebuah rumah yang bertiang
lengkap.
Unsur-unsur negara dikenal 3 hal yaitu:
1. Wilayah
tertentu.
2. Rakyat.
3. Pemerintah
yang diakui.
Yang dimaksud dengan Wilayah
tertentu ialah batas wilayah di mana kekuasaan Negara itu berlaku. Kekuasaan Negara
itu tidak berlaku di luar batas wilayahnya karena bisa menimbulkan sengketa internasional.
Wilayah atau territoir mempunyai
arti luas yang meliputi udara, darat, dan laut. Ketiganya itu ditentukan oleh
perjanjian internasional.[32]
Rakyat sebagai sekumpulan manusia
yang hidup di suatu tempat yang dilawankan dengan makhluk-makhluk lain yang
hidup di dunia. Beberapa istilah yang erat pengertiannya dengan rakyat ialah
rumpun (ras), bangsa (volks), dan nazi (natie).
Rumpun diartikan sebagai sekumpulan
manusia yang merupakan suatu kesatuan karena mempunyai ciri-ciri jasmaniah yang
sama. Ciri-ciri jasmaniah itu misalnya, warna kulit, warna rambut, bentuk
badannya, bentuk mukanya dan sebagainya. Seperti rumpun Melayu, rumpun Kuning,
rumpun Putih, rumpun Hitam dan sebagainya, dan masing-masing rumpun itu
dibagi-bagi lagi dalam rumpun-rumpun kecil atau campuran.
Bangsa diartikan sebagai sekumpulan
manusia yang merupakan suatu kesatuan karena mempunyai perasaan kebudayaan,
misalnya bahasa, adat kebiasaan, agama, dan sebagainya. Oleh karena persamaan
bahasa itu orang menyebut bangsa Arab, walaupun di dalamnya terdiri dari
bangsa-bangsa Mesir, Irak, Yordania, dan sebagainya. Dengan ciri-ciri tersebut
di atas, maka jelaslah bahwa arti rumpun dibedakan daripada bangsa.
Natie juga sering disebut sebagai
bangsa, akan tetapi mempunyai ciri-ciri yang berbeda. Natie diartikan sebagai
sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan karena mempunyai kesatuan
politik yang sama. Ciri-ciri jasmaniah maupun kebudayaan tidak merupakan syarat
mutlak bagi terbentuknya suatu bangsa (natie). Misalnya, gabungan dari
bangsa-bangsa yang mempunyai bahasa-bahasa yang berbeda dan terdiri atas
berbagai rumpun.
Setelah diuraikan arti rumpun,
bangsa dan natie, maka rakyat itu mempunyai arti yang netral, dan rakyat sebagai
salah satu unsur daripada Negara harus dihubungkan dengan ikatannya dengan Negara,
karena itu rakyat harus dimaksudkan sebagai warga Negara yang dibedakan dengan
orang asing.[33]
Sebagai unsur ketiga daripada
Negara adalah Pemerintah yang merupakan alat bagi Negara dalam menyelenggarakan
segala kepentingan rakyatnya dan merupakan alat dan juga, dalam mewujudkan
tujuan yang sudah ditetapkan.
Suatu hal yang penting ialah bahwa
Pemerintah yang berkuasa harus diakui oleh rakyatnya karena pada hakikatnya
pemerintah merupakan pembawa suara dari rakyat sehingga pemerintah dapat
berdiri dengan stabil.[34]
Selain tiga unsur utama, ada unsur
deklaratif, yaitu pengakuan dari Negara lain. Pengakuan Negara lain ini
berdasarkan ketentuan hukum internasional. Pengakuan suatu Negara didasarkan
adanya beberapa faktor, yaitu:
1. Adanya
kekhawatiran terancam kelangsungan hidupnya.
2. Ketentuan
hukum alam bahwa suatu Negara tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dan
kerja sama dengan negara lain.
Pengakuan dari Negara lain
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Pengakuan de facto adalah pengakuan berdasarkan
kenyataan yang ada.
2. Pengakuan de jure adalah pengakuan berdasarkan
hukum.
Adanya pengakuan dari negara lain
menjadi tanda bahwa suatu negara baru yang telah memenuhi persyaratan
konstitutif diterima sebagai anggota baru dalam pergaulan antarnegara.
Dipandang dari sudut hukum internasional, faktor pengakuan sangat penting,
yaitu untuk:
1. Tidak
mengasingkan suatu kumpulan manusia dari hubungan-hubungan internasional.
2. Menjamin
kelanjutan hubungan-hubungan intenasional dengan jalan mencegah kekosongan
hukum yang merugikan, baik bagi kepentingan-kepentingan individu maupun
hubungan antarnegara.[35]
Unsur-unsur terbentuknya Negara
dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu:
1. Unsur
konstitutif adalah unsur yang mutlak harus ada di saat Negara tersebut
didirikan seperti rakyat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat.
2. Unsur
deklaratif adalah unsur yang tidak harus ada di saat Negara tersebut berdiri
tetapi boleh dipenuhi setelah Negara tersebut berdiri, misalnya pengakuan dari
Negara lain.
Rakyat adalah semua orang yang
secara nyata berada dalam wilayah suatu Negara yang tunduk dan patuh terhadap
peraturan Negara tersebut. Rakyat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Penduduk
adalah orang yang berdomisili secara tetap dalam wilayah suatu Negara dalam
jangka waktu yang lama. Penduduk terdiri dari WNI dan WNA (pekerja asing yang
tinggal menetap di Indonesia). Penduduk juga dibedakan menjadi warga Negara dan
bukan warga Negara. Warga Negara adalah orang yang secara syah menurut hukum
menjadi warga Negara, yaitu penduduk asli dan WNI keturunan asing. Bukan warga
Negara adalah orang yang menurut hukum tidak menjadi warga suatu Negara atau
WNA.
2. Bukan
penduduk adalah mereka yang berada di wilayah suatu Negara tidak secara menetap
atau tinggal untuk sementara waktu. Contoh: turis asing yang sedang berlibur.
Wilayah adalah unsur mutlak suatu
Negara yang terdiri dari daratan, lautan, dan udara dan terkadang suatu Negara
hanya memiliki daratan dan udara saja karena Negara tersebtu terletak di tengah
benua jadi tidak memiliki lautan atau pantai. Indonesia memiliki ketiga wilayah
tersebut.
Batas wilayah daratan suatu Negara dengan
Negara lain dapat berupa:
1. Batas alamiah
(gunung, sungai, hutan).
2. Batas
buatan (pagar tembok, kawat berduri, patok, pos penjagaan.
3. Batas
secara geografis yaitu batas berdasarkan garis lontang dan garis bujur. Misalnya
Indonesia terletak antara 6° LU – 11° LS, 95° BT – 141° BT.
Menurut Jean Bodin sifat kedaulatan
ada empat:
1. Asli,
artinya kedaulatan tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi.
2. Permanen,
artinya kekuasaan itu tetap ada selama Negara tetap berdiri.
3. Tunggal
atau bulat, artinya kekuasaan itu merupakan satu-satunya kekuasaan tertinggi
dalam Negara yang tidak dibagi-bagi kelembaga Negara lainnya.
4. Tidak
terbatas, artinya kekuasaan itu tidak dibatasi oleh kekuasaan lain. Bila ada
yang membatasi maka kekuasaan itu akan lenyap. Pemerintah suatu Negara
berdaulat keluar dan ke dalam:
a. Berdaulat
keluar artinya memiliki kedudukan sederajat dengan Negara- negara lain,
sehingga bebas dari campur tangan Negara-lain.
b. Berdaulat
ke dalam artinya berwibawa, berwenang menentukan dan menegakkan hukum atas
warga dan wilayah Negaranya.[36]
[1]
Moh. Kusnadi, SH & Prof. Dr. Bintan R. Saragih, MA, ILMU NEGARA, Jakarta,
Gaya Media Pratama, 2008, hal. 8
[2]
Soehino, S.H., ILMU NEGARA, Yogyakarta, Liberty, 2005, hal. 1
[3] Prof.
DR. M. Solly Lubis, S.H., ILMU NEGARA, Bandung, Mandar Maju, 2007, hal. 1
[4]
Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., ILMU negara, Jakarta, Rajawali Pers, 2011,
hal. 2
[5]
Anon, Pengertian Ilmu Negara Menurut Para Ahli, 2013
[6]
Anon, Definisi Ilmu Negara, 2014
[7] Soehino,
S.H., ILMU NEGARA, Yogyakarta, Liberty, 2005, hal. 1
[8] Soehino,
S.H., ILMU NEGARA, Yogyakarta, Liberty, 2005, hal. 6
[9] Dr.
Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., ILMU negara, Jakarta, Rajawali Pers, 2011, hal. 6
[10] Dr.
Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., ILMU negara, Jakarta, Rajawali Pers, 2011, hal. 7
[11]
Anon, Hubungan Ilmu Negara Dengan Ilmu Lain, 2013
[12]
Anon, ILMU NEGARA, 2012
[13]
Anon, HUBUNGAN ILMU HUKUM TATA NEGARA DENGAN ILMU NEGARA, ILMU POLITIK, DAN
ILMU HUKUM ADMINISTRASI NEGARA, 2012
[14] Moh.
Kusnadi, SH & Prof. Dr. Bintan R. Saragih, MA, ILMU NEGARA, Jakarta, Gaya
Media Pratama, 2008, hal. 15-24, hal. 27-29, hal 31-32
[15] Soekirno,
SH, Ilmu Negara, Yogyakarta, Liberty. 2004, hal. 133
[16]
Soekirno, SH, Ilmu Negara, Yogyakarta, Liberty, 2004, hal. 142
[17]
Prof.H. Abu Daud, SH, Ilmu Negara, Jakarta, Bumi Aksara, 2006, hal. 24
[18]
Anon, ILMU NEGARA, 2014
[19]
Basah, Sjachran, Ilmu Negara, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 12
[20]
Basah, Sjachran, Ilmu Negara, Bandung,
PT Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 99.
[21] Moh.
Kusnardi, SH, Ilmu Negara, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000, hal. 16-17
[22]
Soekirno, SH, Ilmu Negara, Yogyakarta, Liberty. 2004, hal. 22-23
[23] Dr.
Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., ILMU negara, Jakarta, Rajawali Pers, 2011, hal. 17
[24] Dr.
Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., ILMU negara, Jakarta, Rajawali Pers, 2011, hal. 18
[25] Dr.
Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., ILMU negara, Jakarta, Rajawali Pers, 2011, hal. 29
[26]
Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., ILMU negara, Jakarta, Rajawali Pers, 2011,
hal. 33
[27]
Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum, ILMU negara, Jakarta, Rajawali Pers, 2011, hal.
36
[28] Prof.
DR. M. Solly Lubis, S.H., ILMU NEGARA, Bandung, Mandar Maju, 2007, hal. 2
[29] Prof.
DR. M. Solly Lubis, S.H., ILMU NEGARA, Bandung, Mandar Maju, 2007, hal. 3
[30] Prof.
DR. M. Solly Lubis, S.H., ILMU NEGARA, Bandung, Mandar Maju, 2007, hal. 5
[31] Prof.
DR. M. Solly Lubis, S.H., ILMU NEGARA, Bandung, Mandar Maju, 2007, hal. 8
[32] Moh.
Kusnadi, SH & Prof. Dr. Bintan R. Saragih, MA, ILMU NEGARA, Jakarta, Gaya
Media Pratama, 2008, hal. 105-106
[33] Moh.
Kusnadi, SH & Prof. Dr. Bintan R. Saragih, MA, ILMU NEGARA, Jakarta, Gaya
Media Pratama, 2008, hal. 107-108
[34] Moh.
Kusnadi, SH & Prof. Dr. Bintan R. Saragih, MA, ILMU NEGARA, Jakarta, Gaya
Media Pratama, 2008, hal. 112
[35]
Lintas Jari, Unsur-unsur Terbentuknya Suatu Negara, 2013.
[36]
Anon, Pengertian Bangsa, Unsur Terbentuknya
Bangsa, Pengertian Negara, Unsur Terbentuknya Negara, 2014.
Banyak juga hanya satu materi padahal.
ReplyDeleteiya, bener banget.
DeleteSangat bermanfaat
ReplyDelete